Sabtu, 30 Agustus 2008


Rakyat Butuh Kepastian

Oleh
Michael Towoliu

NASIB manusia yang dianggap apes adalah jika tak memiliki kepastian dalam hidup, ter-utama masalah hukum. Kebanyakan manusia, kendati tak memiliki garis keturunan dengan penyakit jantung, namun bisa saja dalam sekejap menderita sakit tersebut. Ba-gaimana tidak, nasibnya telah dipermainkan. Harga diri telah diinjak-injak. Hidup dalam pe-nekanan. Seakan terjerat jaring laba-laba, sekali terperangkap jangan harap bakal lepas lagi. Kenapa saya bisa berpikir demikian? Pasti ada sebabnya. Terus terang, dari sejumlah refrensi kehidupan, maupun fakta yang ada, ketika salah se-orang masuk dalam jeratan hu-kum, pasti sangat sulit untuk melepaskan diri. Perlahan tapi pasti, mau tidak mau, harus dihadapi, sebab mau kabur itu hal yang tidak mungkin. Ketika seseorang dipanggil terkait kasus, entah pidana umum atau pidana khusus semisal dugaan korupsi, sejak itu pula hidupnya akan berubah. Apalagi jika tercium Pers. Malu kepada masyarakat, malu juga kepada keluarga. Padahal, belum tentu dia memang sebagai pelaku korupsi. Sialnya lagi, jika nasib orang tersebut digantung atau tak ada kepastian hukum dalam artian salah atau benar belum bisa dibuktikan. Posisi atau status seperti inilah yang membuat kebanyakan orang terutama kaum pejabat, menderita depresi. “Tolong, anak saya sudah tidak mau ke sekolah, sebab dia malu sama teman-temannya” ungkapan ini sering muncul dari mulut para pejabat yang terseret kasus korupsi. Bahkan kadang, ada yang malu untuk ke kantor atau berhadapan dengan masyarakat sekitar tempat dia tinggal. Mending kalau banyak uang, dia bisa berpindah tempat saat itu juga meski belum sepenuhnya lepas dari rasa malu. Namun bagi yang tidak, atau ekonominya pas-pasan, gimana? Padahal, belum tentu dia pelaku utama, bisa saja dia hanya menjalankan perintah atasan. Kalau sudah begini, kita hanya dapat berharap pertolongan dari Tuhan, sebab untuk mencari keadilan di negeri ini, sangat sulit. Seperti mencari jarum dalam jerami. Banyak contoh kasus dugaan korupsi di Sulut yang kini belum berujung dalam artian tak ada kepastian hukum. Setiap saat bisa berubah, dan siapapun yang merasa terlibat pasti akan hidup dalam bayang-bayang keresahan. “Saat ini masih aman, mar kage ketika ada pergantian pimpinan leh tu kasus dibuka ulang”. Resah, takut dst menyelimuti perasaan ini. Mau bagaimana, terima saja, sebab mungkin ini sudah jadi suratan takdir. Sepertinya, tak ada akhir, kendati sudah pernah ada putusan, tetap saja ada penyidikan lanjutan dengan dalih ada bukti baru. Lantas bagaimana dengan harga diri atau martabat keluarga yang sudah terlanjur diinjak-injak. Kapan harus berakhir penderitaan ini? Pertanyaan ini sering muncul dibenak kita. Padahal, jika semua sudah menyadari atau mengetahui tentang koridor hukum, buat apa takut. Salah atau benar, nanti pengadilan yang memutuskan. Jika tak terbukti bersalah, maka Pengadilan akan memerintahkan untuk segera dibersihkan atau dikembalikan nama baik martabat keluarga. Dengan demikian, kita akan menemukan ujungnya, atau akhir dari drama ini. Kita akan lega sebab terlepas dari bayang-bayang keresahan. Kondisi ini juga berlaku di segala sendi kehidupan manusia sehari-hari. Jika tak ada kepastian hidup, maka jiwa akan goyah, kita akan terbawa dengan emosi yang belum tentu benar. Belum tentu dapat menyelesaikan masalah. Saling cerca, menjatuhkan, kritik pedas langsung menjadi “maka-nan” sehari-hari. Tak ada ujungnya. Hidup sudah sulit, malah makin dipersulit saja. Renda-renda kehidupan kian “kabur”. Tak ada tempat bergantung lagi. Yang ada hanya asa yang menggantung tanpa ada kepastian yang jelas.(**)

1 komentar:

Usako mengatakan...

Mudah2an kita terhindar dari hal2 yang berbau "pelanggaran hukum"